Tuesday, August 19, 2008

Ekspektasi, Cinta & Harapan

Semua orang di dunia ini pasti punya harapan. Entah itu harapan yang realistis ataupun yang muluk-muluk seperti metik bintang, miara pohon uang atau nikah sama Chris Evans di Malibu (Ngarep!). Biasanya kalau orang berbicara dengan harapan pasti selalu dikait-kaitkan dengan cinta, yang notabene tumbuh dari harapan dua insan yang mendambakan hidup yang lebih baik. Namun selalunya, semua harapan kita (baik materil atau pun imateril) selalunya dibatasi sama ekspetasi. Entah itu ekspetasi orang tua, teman, kekasih, istri, suami, atau malah ekspektasi dari diri sendiri yang membatasi ruang gerak kita untuk berharap. Yang membuat hal ini lebih susah lagi, Ekspektasi yang orang lain (ataupun kita sendiri) punya, gak selalunya sejalan dengan apa yang sebenarnya kita butuhin atau kita mau.

Menurut beberapa orang, apa susahnya sih memenuhi ekspetasi yang diberikan ke kita? Tinggal kita jalankan dengan sebaik-baiknya, kalau emang tidak memungkinkan, ya tinggal dibuktikan ke mereka kalau ekspetasi itu Cuma muluk-muluk. Jujur saja, saya setuju dengan itu. Membuktikannya memang mudah, tinggal kita berpura-pura tidak paham padahal sebetulnya kita hanya malas saja mengerjakannya. Tapi yang jadi masalah utamanya adalah tanggung jawab kita sebagai seseorang yang dipercaya akan jadi taruhan. Kalau memang begitu, kenapa nggak kita tolak aja ekspetasi itu dari awal? Itu lebih susah lagi. Menolak ekspetasi dari orang sama halnya dengan kita menolak perkembangan diri dan rasa keingintahuan kita pun terbatasi. Maka dari itu, menurut saya ekspetasi nggak ada bedanya dengan buah simalakama. Setiap apa yang kita ambil, pasti ada celahnya untuk kesalahan.

Salah satu dari beberapa hal yang kita pikirkan sebelum melangkah ke sebuah hubungan (entah itu persahabatan, pacaran ataupun pernikahan) adalah, apa sih yang kita expect dari semua ini? Terutama karena kita harus membagi cinta kita ke orang lain, maka dari itu kita mengharapkan something in return. Bukan karena egois atau apa, tapi itu memang sifat dasar kita sebagai manusia kan? Kita mengharapkan sesuatu dari apa yang telah kita berikan. Bukan sifat yang buruk kok, hanya sebuah perilaku manusia yang hampir tidak mungkin untuk dikoreksi.

Balik ke masalah cinta dan ekspektasi. Mungkin gak sih kalau kita bisa benar-benar mencintai orang sepenuhnya tanpa mengharapkan imbal balik dalam bentuk apapun dari pasangan/sahabat kita? Sampai sekarang, saya belum pernah melihat bukti konkrit itu (kecuali cerita Taj Mahal yang begitu romantis itu lah). Contoh saja salah satu teman saya, dia jauh lebih tua daripada saya. Dia punya beberapa teman dekat yang dia anggap seperti adik kecil sendiri. Sayangnya, ‘adik-adik’-nya itu lebih sering menganggapnya sebagai guru daripada sebagai ‘kakak’-nya dan susahnya lagi, teman saya ini selalu mengharap perilaku spesial dari adik-adiknya seperti adik-kakak pada umumnya. Jujur saja akhirnya saya juga yang kerepotan untuk menampung curhatannya. Tapi ya sudah lah, saya juga tidak dirugikan dengan mendengarkan curhatannya itu. Tapi itu selalu membuat saya berpikir. Belum adakah hubungan korelasi yang benar-benar tidak mengharapkan imbalan sama sekali? Kalau bukan cerita dongeng atau sekedar cerita karya disney lagi, saya rasa sih hampir tidak ada. Cinta dan ekspektasi, dua hal yang selalu berjangkitan dengan satu sama lain. Contoh saja kalimat ini : “Saya mencintai dia karena saya mengharapkan hidup yang lebih baik dan kasih sayang daripada pasangan saya.” Benar kan? Kalimat itu kayaknya akan lebih enak didengar kalau diganti dengan: “Saya Mencintai dia karena saya mencintai dia dan tidak ada alasan ataupun harapan lain.” (Kalau ada yang mau make ini sebagai wedding vow, tolong kabarin saya ya!)

Buat saya pribadi, harapan, ekspektasi dan cinta adalah hal yang selalu berkolerasi dalam bidang apapun. Lihat saja dari hidup saya sekarang ini. Banyak orang menaruh harapan mereka diatas studi saya dengan ekspektasi bahwa mereka ingin melihat saya sukses dan mereka mengatas namakan cinta supaya saya bisa lebih maju lagi. Menurut saya, itu Cuma bullshit karangan mereka saja. Karena saya punya pilihan sendiri di studi saya dan mereka masih memaksakan ekspetasi ke bahu saya. Bukannya membuat saya bangga karena dicintai (seperti apa yang mereka jadikan alasan), saya lebih merasa terbebani. Kenapa? Karena beban berat seperti itu bukanlah harapan yang saya inginkan dari mengganti jalur studi saya.

Harapan yang saya taruh di depan kepala saya bukan sebuah harapan yang muluk-muluk. Saya hanya ingin menyelesaikan studi saya dan mendapat diploma dengan bagus. Setelah itu, mungkin membuka kafe kecil yang khusus menjual home-made ice cream dan tinggal di apartemen kecil dan simpel berdua dengan pasangan. Yang lebih penting lagi, masih bisa menikmati sunset dari apartemen kami, sambil menghirup pelan-pelan teh hangat dan berpegangan tangan. Bukan harapan atau ekspetasi yang muluk-muluk kan?

Singapore, 23rd July 2008
FAP

No comments: