Wednesday, August 20, 2008

Cukup Mengertikah Kita??

Happy New Year...!!” sorakan ramai itu memecah keheningan tengah malam yang senyap.
Tutup botol sampanye pun terlontar ke udara disusul dengan berbagai tiupan terompet dan ucapan ‘Selamat’ kepada satu sama lain. Pipi bertemu pipi, bibir bertemu bibir.

Apa yang perlu dirayakan?
Mengulangi setahun yang melelahkan sekali lagi?
Membuka lembaran baru hanya untuk dicoret dengan tinta hitam dan merah lagi?
Mencari kesempatan untuk berbuat baik yang hanya dilewati begitu saja?
Apa alasan memberikan ucapan ‘selamat’?
Selamat atas kerja keras sia-sia yang terbuang selama dua belas bulan terakhir?
Selamat dengan mimpi-mimpi yang diciptakan tepat setahun yang lalu?
Atau selamat mencoba memenuhi resolusi muluk-muluk yang telah dipikirkan sejak lama?


“Fuuuuhh…!” gadis remaja itu meniup lilin yang berjumlah 17 diatas kue ulang tahunnya yang bertingkat tiga.
Semua orang di dalam ruangan itu bersorak girang dan bertepuk tangan riuh.


Apa yang perlu dirayakan?
Mengulangi tahun dari awal lagi?
Menambah kerutan di wajah dan berbagai keluhan di raga?
Menghitung detik-detik kembali kepada Yang Kuasa?
Apa yang sebenarnya perlu disoraki?
Kemampuan si empunya acara untuk bermegah-megahan?
Atau justru ego dan iri hati tiap-tiap manusia yang berada di ruangan itu?


“Dia selingkuh!” isak seorang wanita di bahu kawannya.
Tangan kanannya memegang segelas minuman beralkohol sementara tangan kirinya sibuk memegang sapu tangan yang sudah lembab dengan air mata.
Kawannya sibuk mengelus-ngelus punggung dan pundaknya; mencoba menenangkan wanita itu.
Apa yang perlu ditangisi?
Menangisi kenyataan bahwa ada orang yang lebih sempurna dari kita?
Menangisi kemungkinan untuk hidup sendirian sampai tua?
Menangisi keadaan bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa diminta untuk membayar semua barang belanjaan dan makan malam kita?
Mengapa perlu ditenangkan?
Untuk membuatnya merasa ditemani dan tidak kesepian?
Untuk memberinya pundak untuk menangis?
Untuk memberi tahunya bahwa ‘tenang-tenang, dia hanya berselingkuh dengan aku’?



“Anaknya laki-laki, bu” ucap seorang dokter di sebuah ruang bersalin.
Matanya ramah menatap seorang ibu yang masih berpeluh, nafasnya naik turun karena kelelahan. Senyum lemah terukir diwajahnya sambil meraih jabang bayinya yang masih berlumuran darah. Seorang lelaki gagah disampingnya ikut tersenyum, setitik air mata jatuh dari biji matanya.

Untuk apa sang ibu tersenyum?
Karena lega beban selama 9 bulan akhirnya sudah bisa dikeluarkan?
Untuk menyambut 3 tahun penuh tangisan?
Untuk menyambut 6 tahun penuh dengan rengekan?
Untuk menyambut 12 tahun penuh dengan keluh kesah?
Untuk menyambut 18 tahun penuh dengan omelan dan beban moril yang teramat berat?
Dan mengapa juga harus sang ayah menitikan air mata?
Bangga karena telah menambah sesaknya dunia?
Bangga karena itu adalah hasil buahan sperma sendiri dan bukannya milik orang lain?
Terharu melihat pengorbanan sang ibu yang nantinya akan di sia-siakan oleh bayi itu?
Atau justru sebuah air mata sedih karena ketidak sanggupan moril dan materiil untuk menyokong satu lagi tambahan anggota keluarga?


Singapore, 30th June 2008
F.A.P
All Images Copyrighted Flickr.com

No comments: