Saturday, August 30, 2008

Menjadi Dewasa

Proses menjadi dewasa adalah satu proses dalam hidup manusia yang nggak akan pernah bisa dilupakan begitu saja. Selain secara fisikal ;dimana orang akan bertambah tinggi, makin berotot dan bersuara berat untuk yang laki-laki dan membentuk tubuh yang molek dan gemulai buat yang perempuan, setiap manusia juga pastinya akan tumbuh mentalitasnya. Biasanya sih seseorang akan menjadi lebih wise dan matang dalam pikiran. Menyelesaikan sesuatu secara rasional dan bukan secara adu fisik atau merengek-rengek layaknya anak kecil.

Sayangnya, nggak semua orang bisa mencapai usia dewasa ini pada saat yang bersamaan. Beberapa ada yang dewasa lebih awal, yang lain malah nggak dewasa-dewasa. Tapi buat saya, nggak ada yang sempurna dari dua pilihan ini, semua ada spesialnya dan kekurangannya sendiri-sendiri. Bukan berarti mereka yang kekanak-kanakan menyebalkan atau nggak bisa apa-apa. Kadang-kadang kita masih butuh sifat kekanak-kanakan untuk hidup. Tentunya bukan sifat mudah mengeluh atau kurang sabar, tapi memiliki sedikit perasaan untuk menghargai setiap hal kecil yang kita dapat atau miliki. Tentunya kita pasti ingat dulu waktu kita masih kecil, kalau kita dapet sepuluh ribu aja, rasanya sudah senang minta ampun. Rasanya seperti kita bisa membeli dunia dengan uang itu. Coba sekarang? Buat kita sepuluh ribu sudah nggak berarti banyak. As we grow older we lost that small essence of life that actually is beautiful.

Tapi apapun itu, kita tetap harus tumbuh dan menjadi dewasa (dan tua tentunya). Dengan menjadi dewasa secara otomatis kita akan memiliki perspektif dunia yang berbeda dari kita yang dahulu. Mungkin kalau dahulu kita Cuma bisa melihat teman sebagai teman untuk senang-senang saja, sekarang kita bisa melihat mereka sebagai mereka yang menemani kita disaat apapun. Mungkin itu salah satu hal yang pertama kita sadari waktu kita tumbuh dewasa, karena teman biasanya orang yang pertama kali menyadari pertumbuhan serta perubahan di taraf kedewasaan kita. Tapi dengan menjadi dewasa lebih cepat itu banyak kerugiannya. Pertama yang pasti adalah kita akan kehilangan masa-masa innocent kita yang selalunya berlanjut ke masalah kedua, yaitu susahnya berkomunikasi dengan teman-teman seumur.

Problem-problem ini yang mendorong saya untuk (terkadang) mengendalikan taraf kedewasaan saya atau dengan kata lain berpura-pura menjadi dewasa atau berpura-pura menjadi anak-anak lagi. Konotasinya sih negatif: Berpura-pura, tetapi kan maksudnya baik. Saya rasa benar-benar tidak ada salahnya kalau merubah sikap dan kedewasaan untuk kembali bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Karena kan tidak mungkin juga kalau saya harus bersikap kekanak-kanakan di depan teman-teman saya yang berumur 18 atau 19 tahun keatas.

Satu hal yang saya berani taruhan adalah kedewasaan seseorang tidak memilik tolak ukur yang pasti. Usia bukan satu hal yang menentukan sikap dewasa seseorang. Sering juga saya mendapati saudara-saudara saya yang berusia 9 atau 10 tahun lebih tua daripada saya bersikap layaknya anak-anak umur 12 tahun. Tapi buat saya, itu adalah ciri khasnya sepupu saya itu. Memang sih, terkadang terasa mengganggu. Apalagi kalau taraf kekanak-kanakannya lebih dari sekedar iseng. Tapi dia sendiri merasa nyaman dengan itu dan merasa bisa enjoy dengan hidupnya. Tetapi, saya pernah melihat dia waktu di pekerjaannya. Menurut saya, benar-benar dua orang yang berbeda. Saudara saya bisa konsentrasi dan bersikap benar-benar fokus dengan kerjaan layaknya orang dewasa pada umumnya. Tetapi dalam waktu 3 detik setelah dia keluar dari kantornya, kembali lah sifat kekanak-kanakkannya. Inilah yang saya sebut dengan good self control ;mampu membedakan dan memilah-milah waktu yang tepat untuk bersikap.

Tumbuh, berkembang dan belajar dari pengalaman sendiri. Tiga hal penting ini adalah struktur fondasi utama dari sebuah kedewasaan menurut saya pribadi. Seseorang harus tumbuh dan memahami sebuah makna kedewasaan yang harus dia tanam dalam dirinya sendiri. Lalu dengan makna kedewasaan itu, dia akan mulai berkembang menjadi individu yang lebih baik dan menghadapi tahapan-tahapan baru dari kedewasaan itu sendiri. Yang terakhir adalah untuk selalu merefleksikan diri kepada tiap-tiap kejadian dan pengalaman yang dihadapi –dan nggak lupa juga untuk selalu belajar dari semua itu karena kalau pengalaman Cuma dilalui begitu saja tanpa ada pelajarannya, jadinya sia-sia. Dari tiga hal inilah yang akan membuat orang menjadi lebih bijaksana dan dewasa di hidupnya.

Singapore, 20th August 2008
F.A.P
Image Copyright Flickr 2008

Saturday, August 23, 2008

Being Single

Tepatnya bukan pertama kalinya saya menjadi seorang single. Bukan juga kedua kalinya, sudah sering lebih tepatnya. Untuk saya, menjadi seorang single itu nggak ada salahnya kok. Memang sih kesepian, tidak ada orang untuk diajak pergi berduaan, tidak ada orang yang bisa dipeluk-peluk, tidak ada orang yang bisa mengantar jemput kita atau mungkin tidak ada orang yang bisa bikin kita cemburu lagi. Satu hal yang saya kangeni dari being in a relationship sebetulnya hanyalah sense of trusts and belonging yang selalunya ada di setiap relationships. Selebihnya, saya rasa kita bisa dapat darimana-mana kok.

Being a single, mungkin karena selingkuh, atau sekedar salah paham yang berkelanjutan selalunya dimulai dengan rasa sakit hati yang berkepanjangan. Mungkin bukan buat semua orang. Tapi rasa-rasanya –if it’s not about being single when you were born, being single itu selalu dimulai dengan rasa sakit hati yang menyakitkan. Kalau buat para cowok, mungkin bisa melepaskannya dengan olahraga atau malah party gila-gilaan, syukur-syukur bisa dapet one night stand. Tapi kalau buat para perempuan, rasanya being single pasti dimulai dengan sesi tangis-tangisan bersama sahabat(-sahabat) terdekat di rumah sambil memeluk satu kemasan ice cream besar yang dilahap begitu saja dengan sendok. Berlebihan? Mungkin saja. Tapi kalau itu salah satu cara untuk melupakan rasa sakitnya, saya rasa wajar-wajar saja dilakukan.

Tahap selanjutnya biasanya dipenuhi dengan berbagai quotation-quotation cheesy untuk memulai hari-hari supaya terkesan biasa-biasa saja. Seperti “I Am Fine Without You”, “I Will Survive” atau malah “Anggap saja cowok/cewek itu sebagai bekas kamu pakai!”, Nah loh? Kalau sudah sampai pada tahap ini, biasanya orang akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari lagi yang baru dengan harapan bahwa mereka akan mendapatkan yang lebih baik lagi atau dengan anggapan bahwa being single equals to no fun. Menurut saya, itu salah banget.

Being single is the most fun thing that you can ask for. Kapan lagi bisa pergi ke bengkel seharian penuh tanpa ada yang nelponin untuk minta dijemput? Kapan lagi bisa dugem dan flirting sampai pagi di club dengan beberapa orang sekaligus? Atau buat cewek-cewek, kapan lagi bisa belanja sampai kaki gempor tanpa harus ada yang ngomel-ngomel karena kelamaan? Kapan lagi bisa berkumpul dengan teman-teman singletons lainnya di bar sambil memegang segelas cosmopolitan seperti Carrie Bradshaw dan teman-temannya sambil melirik-lirik ke si ganteng dengan kemeja hijau itu?

Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau ini yang harusnya bisa kita hargai sebagai seorang single. Kalau masalahnya Cuma karena kesepian, saya rasa masih banyak teman-teman di luar sana yang rame dan bisa ikut memeriahkan hidup (malah saya rasa, teman-teman saya lebih rame daripada mantan-mantan saya sendiri). Masalahnya tidak ada yang mengantar/jemput (buat cewek). Hello?!? You are a great independent woman! Masih banyak taksi di luar sana, masih banyak temen yang bisa ditebengi kok, why bother sticking with one guy if you just treat him as your driver? Sekali lagi, menurut saya nggak ada alasan untuk tidak menghargai masa-masa single.
Memang sih, teman-teman tidak mungkin bisa diajak flirting atau cuddling kalau lagi berduaan. Selain kesannya aneh, kayaknya sedikit berbeda rasanya daripada pacar sendiri. Tapi bukan berarti kalau nggak flirting terus kita akan sekarat dan bukan berarti juga kalau kita nggak cuddling seminggu terus kita kena demam. Masih banyak hal-hal penting yang harus kita hargai sebagai seorang singleton. Mulai dari saatnya fokus ke kerjaan, fokus ke urusan perkuliahan atau malah lebih fokus ke relasi dengan keluarga atau teman-teman yang lagi jauh. Siapa tau, dari merekalah kita akan menemukan si Mr/Mrs. Right dan bukannya Mr/Mrs. Right Now.

Personally, saya rasa satu-satunya yang saya benci untuk menjadi single adalah ketika saya tidak bisa melupakan mantan saya. Perlu diingat, tidak bisa melupakan bukan hanya berarti masih sayang atau cinta, tapi bisa saja tidak bisa melupakan karena terlalu banyak waktu-waktu indah yang terhabiskan bersama. Biasanya hal ini akan bertambah buruk kalau mantan kita masih terus mencoba meyakinkan kita bahwa kesalahan yang mereka buat hanyalah kekhilafan sementara dan berulang kali mengatakan kalau mereka masih sayang dan cinta dan meminta kita untuk memberinya second chance. Kalau memang sudah tidak ada rasa, kita bisa dengan mudahnya menolak dan melupakan. Yang menjadi masalah berat adalah kombinasi dari kedua kejadian ini. Jadi ingat lagunya Slank yang sempat populer dulu, “I miss you, but I hate you”. Ya betul, saya kangen sama kamu, tapi saya benci kamu. Biasanya, saat-saat inilah yang bisa kita sebut sebagai Dilema.

Tapi perlu ditekankan sekali lagi (menurut pandangan saya) bahwa being single is not a crime. There is nothing wrong in being single. Savour every single seconds of you being single karena kita sendiri tahu dari teman-teman kita yang sudah menikah. They always miss the time when they were not attached to anyone. Gunakan masa-masa jaya dengan sebaik-baiknya. Keluar tiap malam sabtu dengan teman-teman sekedar untuk nonton atau mungkin lanjut ke club. Nggak Cuma minum-minum atau bersosialisasi aja. Tapi dengan cara ini kadang-kadang bisa ngebantu kita lebih relaks menghadapi Senin yang akan datang dengan lebih baik daripada pacaran berduaan di puncak atau pinggir pantai Ancol. Bisa-bisa pulang-pulang berbadan dua!

Viva Singleton!
Singapore, 17th August 2008
F.A.P

Thursday, August 21, 2008

Kenapa Kita?

Kamu hancurkan harapanku untuk bersama.
Sesempurna apapun kamu, ternyata hatiku pun masih bisa hancur.
Porak-poranda, luluh-lantah dibuatnya.
Kalau saja kesempurnaanmu hanya sebuah imajinasi.
Akan lebih mudah untukku melupakannya.
Sayangnya tidak, kesempurnaanmu adalah sebuah realita.
Realita pahit yang harus aku hadapi di tiap-tiap detikku.
Detik yang makin menyakitkan, karena masih ada bayang-bayangmu disitu.

Bukan maksudku meragukan keberadaanmu.
Terkadang aku hanya ingin kamu pergi dari hidupku dan jangan kembali lagi.
Tetapi setiap jejak langkah dan hembusan nafasmu selalu memanggil namaku.
Dan lagi-lagi akupun tergoda olehnya.
Kenapa kamu?
Kenapa aku?
Kenapa kita?
Singapore, 21st August 2008
F.A.P
Image copyrighted Flickr.com

Wednesday, August 20, 2008

Cukup Mengertikah Kita??

Happy New Year...!!” sorakan ramai itu memecah keheningan tengah malam yang senyap.
Tutup botol sampanye pun terlontar ke udara disusul dengan berbagai tiupan terompet dan ucapan ‘Selamat’ kepada satu sama lain. Pipi bertemu pipi, bibir bertemu bibir.

Apa yang perlu dirayakan?
Mengulangi setahun yang melelahkan sekali lagi?
Membuka lembaran baru hanya untuk dicoret dengan tinta hitam dan merah lagi?
Mencari kesempatan untuk berbuat baik yang hanya dilewati begitu saja?
Apa alasan memberikan ucapan ‘selamat’?
Selamat atas kerja keras sia-sia yang terbuang selama dua belas bulan terakhir?
Selamat dengan mimpi-mimpi yang diciptakan tepat setahun yang lalu?
Atau selamat mencoba memenuhi resolusi muluk-muluk yang telah dipikirkan sejak lama?


“Fuuuuhh…!” gadis remaja itu meniup lilin yang berjumlah 17 diatas kue ulang tahunnya yang bertingkat tiga.
Semua orang di dalam ruangan itu bersorak girang dan bertepuk tangan riuh.


Apa yang perlu dirayakan?
Mengulangi tahun dari awal lagi?
Menambah kerutan di wajah dan berbagai keluhan di raga?
Menghitung detik-detik kembali kepada Yang Kuasa?
Apa yang sebenarnya perlu disoraki?
Kemampuan si empunya acara untuk bermegah-megahan?
Atau justru ego dan iri hati tiap-tiap manusia yang berada di ruangan itu?


“Dia selingkuh!” isak seorang wanita di bahu kawannya.
Tangan kanannya memegang segelas minuman beralkohol sementara tangan kirinya sibuk memegang sapu tangan yang sudah lembab dengan air mata.
Kawannya sibuk mengelus-ngelus punggung dan pundaknya; mencoba menenangkan wanita itu.
Apa yang perlu ditangisi?
Menangisi kenyataan bahwa ada orang yang lebih sempurna dari kita?
Menangisi kemungkinan untuk hidup sendirian sampai tua?
Menangisi keadaan bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa diminta untuk membayar semua barang belanjaan dan makan malam kita?
Mengapa perlu ditenangkan?
Untuk membuatnya merasa ditemani dan tidak kesepian?
Untuk memberinya pundak untuk menangis?
Untuk memberi tahunya bahwa ‘tenang-tenang, dia hanya berselingkuh dengan aku’?



“Anaknya laki-laki, bu” ucap seorang dokter di sebuah ruang bersalin.
Matanya ramah menatap seorang ibu yang masih berpeluh, nafasnya naik turun karena kelelahan. Senyum lemah terukir diwajahnya sambil meraih jabang bayinya yang masih berlumuran darah. Seorang lelaki gagah disampingnya ikut tersenyum, setitik air mata jatuh dari biji matanya.

Untuk apa sang ibu tersenyum?
Karena lega beban selama 9 bulan akhirnya sudah bisa dikeluarkan?
Untuk menyambut 3 tahun penuh tangisan?
Untuk menyambut 6 tahun penuh dengan rengekan?
Untuk menyambut 12 tahun penuh dengan keluh kesah?
Untuk menyambut 18 tahun penuh dengan omelan dan beban moril yang teramat berat?
Dan mengapa juga harus sang ayah menitikan air mata?
Bangga karena telah menambah sesaknya dunia?
Bangga karena itu adalah hasil buahan sperma sendiri dan bukannya milik orang lain?
Terharu melihat pengorbanan sang ibu yang nantinya akan di sia-siakan oleh bayi itu?
Atau justru sebuah air mata sedih karena ketidak sanggupan moril dan materiil untuk menyokong satu lagi tambahan anggota keluarga?


Singapore, 30th June 2008
F.A.P
All Images Copyrighted Flickr.com

Tuesday, August 19, 2008

Ekspektasi, Cinta & Harapan

Semua orang di dunia ini pasti punya harapan. Entah itu harapan yang realistis ataupun yang muluk-muluk seperti metik bintang, miara pohon uang atau nikah sama Chris Evans di Malibu (Ngarep!). Biasanya kalau orang berbicara dengan harapan pasti selalu dikait-kaitkan dengan cinta, yang notabene tumbuh dari harapan dua insan yang mendambakan hidup yang lebih baik. Namun selalunya, semua harapan kita (baik materil atau pun imateril) selalunya dibatasi sama ekspetasi. Entah itu ekspetasi orang tua, teman, kekasih, istri, suami, atau malah ekspektasi dari diri sendiri yang membatasi ruang gerak kita untuk berharap. Yang membuat hal ini lebih susah lagi, Ekspektasi yang orang lain (ataupun kita sendiri) punya, gak selalunya sejalan dengan apa yang sebenarnya kita butuhin atau kita mau.

Menurut beberapa orang, apa susahnya sih memenuhi ekspetasi yang diberikan ke kita? Tinggal kita jalankan dengan sebaik-baiknya, kalau emang tidak memungkinkan, ya tinggal dibuktikan ke mereka kalau ekspetasi itu Cuma muluk-muluk. Jujur saja, saya setuju dengan itu. Membuktikannya memang mudah, tinggal kita berpura-pura tidak paham padahal sebetulnya kita hanya malas saja mengerjakannya. Tapi yang jadi masalah utamanya adalah tanggung jawab kita sebagai seseorang yang dipercaya akan jadi taruhan. Kalau memang begitu, kenapa nggak kita tolak aja ekspetasi itu dari awal? Itu lebih susah lagi. Menolak ekspetasi dari orang sama halnya dengan kita menolak perkembangan diri dan rasa keingintahuan kita pun terbatasi. Maka dari itu, menurut saya ekspetasi nggak ada bedanya dengan buah simalakama. Setiap apa yang kita ambil, pasti ada celahnya untuk kesalahan.

Salah satu dari beberapa hal yang kita pikirkan sebelum melangkah ke sebuah hubungan (entah itu persahabatan, pacaran ataupun pernikahan) adalah, apa sih yang kita expect dari semua ini? Terutama karena kita harus membagi cinta kita ke orang lain, maka dari itu kita mengharapkan something in return. Bukan karena egois atau apa, tapi itu memang sifat dasar kita sebagai manusia kan? Kita mengharapkan sesuatu dari apa yang telah kita berikan. Bukan sifat yang buruk kok, hanya sebuah perilaku manusia yang hampir tidak mungkin untuk dikoreksi.

Balik ke masalah cinta dan ekspektasi. Mungkin gak sih kalau kita bisa benar-benar mencintai orang sepenuhnya tanpa mengharapkan imbal balik dalam bentuk apapun dari pasangan/sahabat kita? Sampai sekarang, saya belum pernah melihat bukti konkrit itu (kecuali cerita Taj Mahal yang begitu romantis itu lah). Contoh saja salah satu teman saya, dia jauh lebih tua daripada saya. Dia punya beberapa teman dekat yang dia anggap seperti adik kecil sendiri. Sayangnya, ‘adik-adik’-nya itu lebih sering menganggapnya sebagai guru daripada sebagai ‘kakak’-nya dan susahnya lagi, teman saya ini selalu mengharap perilaku spesial dari adik-adiknya seperti adik-kakak pada umumnya. Jujur saja akhirnya saya juga yang kerepotan untuk menampung curhatannya. Tapi ya sudah lah, saya juga tidak dirugikan dengan mendengarkan curhatannya itu. Tapi itu selalu membuat saya berpikir. Belum adakah hubungan korelasi yang benar-benar tidak mengharapkan imbalan sama sekali? Kalau bukan cerita dongeng atau sekedar cerita karya disney lagi, saya rasa sih hampir tidak ada. Cinta dan ekspektasi, dua hal yang selalu berjangkitan dengan satu sama lain. Contoh saja kalimat ini : “Saya mencintai dia karena saya mengharapkan hidup yang lebih baik dan kasih sayang daripada pasangan saya.” Benar kan? Kalimat itu kayaknya akan lebih enak didengar kalau diganti dengan: “Saya Mencintai dia karena saya mencintai dia dan tidak ada alasan ataupun harapan lain.” (Kalau ada yang mau make ini sebagai wedding vow, tolong kabarin saya ya!)

Buat saya pribadi, harapan, ekspektasi dan cinta adalah hal yang selalu berkolerasi dalam bidang apapun. Lihat saja dari hidup saya sekarang ini. Banyak orang menaruh harapan mereka diatas studi saya dengan ekspektasi bahwa mereka ingin melihat saya sukses dan mereka mengatas namakan cinta supaya saya bisa lebih maju lagi. Menurut saya, itu Cuma bullshit karangan mereka saja. Karena saya punya pilihan sendiri di studi saya dan mereka masih memaksakan ekspetasi ke bahu saya. Bukannya membuat saya bangga karena dicintai (seperti apa yang mereka jadikan alasan), saya lebih merasa terbebani. Kenapa? Karena beban berat seperti itu bukanlah harapan yang saya inginkan dari mengganti jalur studi saya.

Harapan yang saya taruh di depan kepala saya bukan sebuah harapan yang muluk-muluk. Saya hanya ingin menyelesaikan studi saya dan mendapat diploma dengan bagus. Setelah itu, mungkin membuka kafe kecil yang khusus menjual home-made ice cream dan tinggal di apartemen kecil dan simpel berdua dengan pasangan. Yang lebih penting lagi, masih bisa menikmati sunset dari apartemen kami, sambil menghirup pelan-pelan teh hangat dan berpegangan tangan. Bukan harapan atau ekspetasi yang muluk-muluk kan?

Singapore, 23rd July 2008
FAP

Bangga


Kapan terakhir kalinya kamu pernah berbisik kepada dirimu sendiri “Wow! I am proud of myself and i really am happy about what i just did!” ? Beberapa hari yang lalu? Seminggu yang lalu? Tiga bulan yang lalu? Tahun lalu? Atau malah belum sedikitpun perasaan itu terlintas di pikiran kamu?

Saya sering merasa bangga dengan apa yang telah saya capai di hidup saya. Saya bangga bisa punya kesempatan untuk tampil di depan umum. Saya bangga bisa bicara depan orang banyak and have such an admiring public speaking skill. Saya bangga bisa sekolah diluar negeri yang notabene will cost fortune for one. Saya bangga bisa punya fashion sense; yang menurut orang-orang, oke dan gak norak.

Terkadang, kita sebagai manusia hanya merasa bangga dengan sesuatu yang besar. Sesuatu yang glamor, super dan mewah. Sesuatu yang pantas untuk dibanggakan. Sementara persoalan yang kita hadapi adalah tidak selalunya hal yang kita punya itu ‘patut’ untuk dibanggakan. Terkadang kita berpendapat kalau itu terlalu kecil, terlalu biasa, terlalu umum untuk dibanggakan.

Untuk sekali dalam hidup, saya pernah merasa bangga karena saya hidup. Bukan, bukan hidup dalam artian punya teman yang seru, uang yang lebih dari cukup atau pacar yang baik. Tapi hidup dalam arti harafiah, bahwa saya masih bisa bernafas, berjalan dan menggunakan kelima indera saya dengan sempurna. Sewaktu saya merasa bangga dengan itu, saya berpikir “Kenapa saya harus bangga?”. Lagi-lagi saya Cuma bisa melihat ke sekitar dan merefleksikan apa yang saya lihat.

Bukan Cuma kejanggalan sosial atau gejala-gejala hilangnya moral (masalah itu, saya Cuma bisa diam saja, karena toh itu kejanggalan sosial dan moral itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah). Tapi saya melihat ke tatapan mata orang lain. Biasanya saya selalu melihat di mata teman-teman saya, tatapan mata kelelahan, capek hidup dan ketidak puasan akan hidup yang mereka jalani. Balik lagi, bangga akan hidup sendiri. Apa susahnya sih?

Pernah sekali, pertengkaran hebat terjadi diantara saya dengan ayah saya. Masalahnya apa, sepertinya nggak pantes untuk dibahas disini. Pada intinya, di antara perdebatan sengit itu, sempat keluar dari mulut saya, “Papa gak bisa nerima kan? Papa gak bisa ngebanggain aku lagi, papa ga bisa bangga dengan anaknya sendiri”. Kalau sekarang saya ingat-ingat kejadian itu lagi, jujur saja saya menyesal sekali. Rasanya susah percaya bahwa saya pernah menuduh ayah sendiri dengan bilang kalau dia tidak pernah bisa bangga dengan saya. Secara tidak langsung, itu adalah apa yang saya pikirkan dan rasakan. Berarti, bukan ayah saya yang tidak bangga dengan saya, melainkan saya sendiri yang tidak bangga dengan diri saya sendiri.

Kalau boleh saya merefleksikan diri saya lagi, rasa bangga itu mudah untuk didapat. Kadang-kadang hal yang sangat sederhana seperti saya masih bisa makan tiga kali sehari dengan sehat, bisa mendapat fasilitas hidup yang layak, atau bahkan saya masih mampu untuk jalan dan belajar dari hidup, bisa menjadi hal yang bisa dibanggakan.

Every single little tiny thing is something that you should be proud of regardless of whether it is legible or good enough to be one of your pride.

Singapore, 20th July 2008
F.A.P

Selamat Datang!

Hi
Selamat datang di blog saya...
isinya mungkin sampah...
tapi, sometimes we need trash so we can look deeper into ourselves and impress ourselves with what we had in life.

Just a simple introduction.
Another living creature originated from Indonesia -and still loving it, who stuck in small island across called Singapore.
Loves every single seconds of his life and treasure every single ideas of good living that he knew.
The purpose of this blog to be published, just to share views of life and values to the world.

Enjoy!
F.A.P